Asli Indonesia | 3L #1

Asli Indonesia

Halo halo, selamat datang di Long Live Learning Weekly Blog edisi Pertama,
Asli Indonesia | #1

Minggu ini, ada banyak hal yang gua dapet dan pelajari dari menjalani kehidupan bapak-bapak yang biasa pada umumnya ini. Beberapa diantaranya mungkin bernilai, beberapa juga mungkin cuman lewat-lewat doang.

Charlie Van Houten itu DN Aidit -nya Permusikan Zaman Now

Akhir-akhir ini gua lagi ngikutin senggol-senggolannya AKSI dan VISI yang sedikit panas. Ya walaupun ga sepansas isu Prabowo buat statement keterbukaan hubungan Indo-Israel, tapi lumayan sengitlah si kedua kubu ini. AKSI, atau Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia yang biasanya di-muka-i oleh Ahmad Dhani dan VISI (Vibrasi Suara Indonesia) yang diketuai oleh Armand Maulana vokalis gigi saling beradu idealisme dan gagasan mereka tentang konsep “royalti” dalam dunia permusikan Indonesia.

Walaupun menurut gua keduanya ini tidak memiliki argumentasi yang saling bersinggungan secara langsung tapi kedua pihak ini semakin sengit dan panas karena saling mengomentari gerakan-gerakan satu sama lain secara tidak langsung. Apalagi setelah dikompori oleh orang-orang dongo yang menyebut diri mereka “Netizen”.

Tapi, ditengah keseruan Si AKSI yang ngotot untuk membuat Platform Direct License sebagai wadah Royalti Pencipta Lagu dan VISI yang ngotot melindungi hak-hak penyanyi untuk masa kedepan, datanglah seorang sosok juru selamat yang datang sebagai DN. Aidit Permusikan Indonesia, Charlie Van Houten. Si Charlie-charlie ini menurut gua keren banget sih, tanpa basa-basi dan liat konteks, bahkan tidak tergabung di kedua kelompok tersebut datang dengan sebuah utimatum seperti ini:

Bayangkan, bahkan penyanyi yang sudah ada di Akherat pun bebas menyanyikan seluruh karya lagunya beliau. Memang sebuah gerakan juru selamat, seorang DN. AIdit Permusikan Indonesia. Beliau memang sepertinya menganut paham “Fuck Copyright, semua yang ada di dunia milik tuhan”.

Hidup Charlie, hidup Charlie, hidup Charlie!

Asal-Usul Ormas?

Banting setir sedikit dari permusikan, gua juga belajar sedikit tentang ormas di minggu-minggu ini. Keresahan tentang ormas memang sudah dirasakan sejak dulu, apalagi memang pernah ada pengalaman tentang si ormas-ormas ini. Dulu ketika bangun Coffee Shop sama temen-temen, saat kita semua lagi netflix and chill tiba-tiba dateng seorang putra daerah yang ngomong panjang lebar tentang silsilah tanah dan daerahnya dari zaman Mesopotamia sampai hari itu. Ya ujung-ujungnya sih minta parkir biar dia yang urus dan ada pemasukan.

Apa yang terjadi setelahnya? ya karena parkiran yang berbayar jadi pelanggan yang biasanya beli kopi dengan harga normal sekarang jadi +Rp.2000, dan karena kebanyakan konsumen adalah mahasiswa, mereka pun kabur dan hilang lama-kelamaan. Tai emang.

Apalagi akhir-akhir ini banyak berita tentang “Organisasi Masyarakat” ini, keingintahuan gua tentang si ormas ini semakin bertambah. Setelah dibaca dan diliat-lait, gua menemukan bahwa sebenarnya Ormas ini ternyata produk asli dalam negri loh!, jadi tetap mirip seperti Indomie, Tembakau Jawa Timur, dan lain-lain.

Dulu, pemerintah kesulitan mengatasi perlawanan masyarkat yang semakin marak dan masif karena hanya bisa menekan dengan alat negara (ABRI). Masalahnya, penekanan atau represi oleh “Angkatan Bersenjata” ini memiliki batas-batas hukum karena jatohnya Aparat melawan Sipil yang rentan sekali menyenggol hak-hak asasi. Nah, dari situ muncullah sebuah ide, kalau aparat tidak boleh kenapa tidak kita buat saja skemanya menjadi Sipil Vs Sipil? dan lahirlah sebuah kumpulan “alat rezim” lainnya dalam bentuk baru yaitu ORMAS.

Jadi jangan heran kalau si alat ini tidak dapat dibasmi, lah orang yang bikinnya siapa kan. Lagian, alat yang bernama Ormas ini sangat useful loh, selain menjadi perpanjangan tangan represi tanpa ABRI, ormas ini juga dapat menjadi sarang ternak “suara” untuk para politisi menggapai kursi panas impian mereka. Dari dahulu kala juga kita tahu, untuk apa lagi kita berburu dan meramu tanpa harus pergi dari gua untuk mencari hewan karena sudah ada di perternakan. Mending urus ternak lah, lebih simpel, lebih pasti.

Budaya Mencontek dan Mencari Alasan

Nah selain Ormas yang asli Indonesia, Budaya-budaya ini juga asli Indonesia loh. Mantap.

Pernah ga kita membedakan pengertian mencontek dan mengambil referensi? Ya mungkin karena minat literasi yang minim di negara ini, jadi mempelajari etimologi itu sangat-sangat membosankan. Perbedaan paling jelas dari mencontek dan mengambil referensi adalah yang satu hanya mengikuti sama persis tanpa mengetahui pertimbangan pengambilan keputusan, data-data pendukung, kronologi dan faktor lainnya, dan yang satunya lagi malah kebalikannya. Sayangnya yang dipilih oleh pimpinan dan pemegang keputusan di negara Indonesia tercinta ini adalah mencontek bukan mengambil referensi.

Ingat saat pajak PPN naik di tahun 2025 menjadi 12%, pemangku-pemangku kebijakan diatas sana bilang apa? Ini list negara-negara yang bahkan pajaknya melebihi 12%, jadi sebenarnya Indonesia juga masih di taraf wajar. Lah, jika negara lain pajaknya lebih tinggi memang sudah pasti benar? Apakah layanan dan pengelolaan pajaknya tidak harus disamakan dengan negara-negara dengan pajak tinggi tersebut?, Kembali lagi, tanpa pertimbangan, data pendukung, kronologi sebab-akibat, hanya mencontek.

Contoh lagi ketika Bapak Presiden terhormat mengumumkan Kabinet Gemuk nan Gemoy-nya dengan dalih negara-negara eropa itu besar wilayahnya tidak lebih kecil dari kita tapi jika menteri-menteri mereka dijumlah, Indonesia masih jauh dibawah. Aneh. Belum contoh lain yang mungkin banyak menyakiti khalayak seperti komposisi Timnas Sepakbola Indonesia sekarang. Ketika ada yang mengkritik bahwa Timnas kebanyakan mengambil pemain diaspora bukan pemain yang berasal dari tanah air, jawabannya malah membandingkannya dengan Timnas Francis yang juga hampir mirip. Logika bahwa ada orang atau lembaga melakukan sesuatu dan tidak terjadi apa-apa berarti kita juga boleh melakukannya adalah pemikiran yang sangat aneh menurut gua.

Lalu jika ada orang yang tidak meninggal ketika makan kotoran sendiri, mau ikut juga? Kan dia juga gitu, kok kita tidak boleh?

lagi dan lagi, tanpa pertimbangan, data pendukung, kronologi sebab-akibat, hanya mencontek. Jadi jangan heran jika budaya mencontek masih terus dilestarikan oleh pelajar-pelajar dan manusia Indonesia. Orang petingginya saja mencontohkan dan melakukan demikian.

Kondisi ini juga mungkin tercipta karena kebiasaan orang Indonesia yang menghamba pada sosok secara langsung, bukan pada nilai. Nah untuk hal ini gua sepertinya akan membahasnya di blog minggu depan.

Sudah dulu, ngantuk dan kepanjangan

Padahal tidak berniat menjadikan blog ini bacaan yang panjang dan membosankan, tapi maaf ternyata mengalir dengan sendirinya. Bahkan ini belum merangkum semua yang gua dapat dalam seminggu yang tertulis di buku catatan. Sekalian menjadi bahan evaluasi untuk kedepannya mungkin dapat memperingkas poin yang ingin disampaikan, pemilihan diksi yang tepat tapi tetap sarat makna.

Sudah dulu, ngantuk dan sudah kepanjangan.

Sampai jumpa di 3L Weekly Minggu Depan.
Cheers,


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *