Halo halo, selamat datang di Long Live Learning Weekly Blog edisi kedua, Mending Berkarya | #2, minggu ini merupakan minggu yang yah agak normal aja sih kayak biasanya. Tapi menariknya minggu ini gua mendapatkan achievement baru di TickTick untuk bangun habbit evaluasi harian dan meditasi secara 14 hari berturut-turut. Sebuah prestasi yang patut dirayakan, walaupun goalsnya tetap di 21 hari biar jadi habbit yang tertanam secara otomatis di sistem badan ini. Yaudah tanpa basa-basi lagi. Let’s gow!
Gus Miftah No, Gustitiw Yes. Gusdur Juga yes!
Minggu ini diawali dengan berita meninggalnya @gustitiw yang agak dadakan dan terjadi begitu cepat. Walaupun gua ga terlalu ngikutin si gusti, tapi beberapa following dan mutuals yang ada di sosial media keliatannya sangat kehilangan sosok beliau. Dulu emang pernah denger namanya dan tahu karena nonton podcast yang pandji diundang bawa kolega komik New York untuk promo sama Maple di Youtube mereka. Tapi ya sebatas itu, biasa aja. Oh sama satu lagi yang Soleh Solihun interview dia lewat podcast naik classKarena informasi-informasi ini terus tersuguhkan, jadi agak tertarik mengulik perjalanan karir beliau ini. Nah ketika mendengar karya-karya beliau lewat lagunya, ternyata si gusti-gusti ini nggak sebiasa aja itu loh ternyata. Selain karya mandiri, beliau ini juga banyak terlibat dibalik panggung dan layar teman-teman musisi lainnya. Keren sih!.

Disamping kekerenan-kekerenan itu, ada satu hal yang membuat gua berkontemplasi sedikit. Bukan dari sisi seni atau musik, tapi malah dari sisi perkomedian. Khusunya yang orang-orang lain sebut “dark jokes”. Dari postingan-postingan public figure yang turut berbela sungkawa ada aja yah orang-orang yang masih bercanda dengan berdalih “dark jokes” kayak: “Lah bukannya Idul Adha udahan?”, “Ini akibat tidak berhenti sebelum kenyang yah adik2”, dll. Gua kayak yang omaigat ini postingan orang meninggal loh, apakah sebegitu remehnya ini.
Menurut gua si “dark joke” ini memang tidak terdefinisikan dengan jelas sih di negara ini. Apalagi si komik-komik ini memang mencontohkannya dengan cara yang kurang bertanggung jawab. Dark Joke itu ga cocok untuk pertunjukan publik atau dijadikan konten untuk konsumsi publik, karena kurangnya konteks yang terlibat dalam penyampainnya. Apalagi di zaman konten yang serba durasi pendek ini, makin jauh tuh pemahaman orang-orang tentang hal sensitif ini. Harusnya si lelucon tipe ini tuh hanya disampaikan dalam show private atau intimate gitu, tanpa adanya dokumentasi mungkin lebih baik. Karena menurut gua konsepnya tuh kayak harusnya dinikmatin sekali lahap dan goes by aja.
Tapi sebenarnya bukan salah konsep dari “jokes”nya, hanya saja warga negara yang kurang literasi seperti Indonesia ini belum punya kemampuan untuk sampai ke konsep konteks. Apalagi memahaminya. Menyedihkan, tapi emang kenyataan.
Kenapa orang miskin suka karaoke dengan speaker heboh?
Karena sudah dimulai dengan yang agak ke negatif, sekalian aja kita beresin yang negatif dulu. Next, minggu ini gua sangat terganggu dengan kebiasan-kebiasan orang miskin karaoke dengan speaker aduhai sampai subuh. Ga semuanya, ga untuk mengeneralisir juga, tapi kebanyakan. Udah kayak oknum di pemerintahan.
Gua ngerti, mungkin bukan salah karaokenya tapi tingkat ekonominya aja kayaknya. Soalnya setelah mempelajari ini dan melakukan riset kecil-kecilan ternyata bukan cuman orang miskin yang suka karaoke, teriak, atau cara lain mengeluarkan suara keras demi stress relieve, tapi memang kebanyakan manusia gitu. Cuman bedanya kalau orang kaya punya kemampuan ekonominya untuk sewa room sebagai medianya, bahkan beberapa yang hidung belang sama pemandu bahenolnya tapi orang miskin kan enggak.
Selain itu, Peneliti dan ilmuwan neuroscience Harry Witchel juga pernah bahas ini yang katanya tindakan si karaoke heboh atau mendengarkan musik keras di ruang publik itu bukan menunjukkan kecenderungan anti-sosial, tapi cara manusia menandai teritori sosialnya. Nah dari sini gua jadi berpikir lebih jernih karena kekurangan kekuatan ekonomi orang miskin ini juga ternyata berpengaruh bukan ke kemampuan sewa room aja. Tapi pengakuan dan eksistensi juga kali yak.
Karena kekurangannya atas kepemilikan yang dia ingin dapatkan di dunia ini seperti harta, tahta atau wanita, jadi teritori bisa jadi alternatif kepemilikan orang-orang ini yang dapat memberikannya pengakuan dan eksistensi dia di dunia. Ternyata pada dasarnya memang semua manusia itu serakah, pengen diakui, pengen dianggap, tapi caranya aja yang berbeda-beda. Maka dari itu, jangan jadi orang miskin yah, bukan secara harfiah tapi lebih ke mentalnya. Bangunlah pengakuan dan eksistensimu di dunia ini dengan cara-cara orang kaya, orang berilmu, atau orang beradab, ya dengan berkarya. Bukan dengan menggangu kenyamanan orang lain.
Tantangan masing-masing Generasi
Sebagai orang tua yang mencoba menjadi orang tua yang bertanggung jawab, gua juga semakin memaksa diri untuk meningkatkan intensitas belajar parenting. Tapi seperti biasanya, banyak side value yang malah lebih menarik buat gua dan menjadi pertanyaan yang menghatui sampai tidur. Salah satunya adalah dengan makhluk-makhluk si paling generasi struggle ini.
Mudah sekali untuk kita bertemu orang yang bukan ngasih solusi ketika bahas masalah dan malah membanding-bandingkan. Apalagi di si per-parenting-an ini. “Anak sekarang mah enak, ga pakai kekerasan kayak jaman dulu”, “belajar kok males, kita dulu harus menyebrang samudera mendaki gunung dulu untuk belajar” dan masih banyak lagi. Sebenarnya menurut gua orang-orang ini emang dasarnya tolol aja.
Perbandingan-perbandingan itu menurut gua gak relevan, bahkan dari dulu maupun sekarang. Kenapa kita harus membandingkan sesuatu yang kebutuhan serta tantangan zamannya aja sudah berbeda. Lagain menurut gua sebenarnya masalah di tiap generasi pasti ada, cuman bentuknya aja yang berbeda-beda. Orang tua kita dahulu mungkin kesulitan mendapatkan informasi karena belum adanya internet dan sosial media, beda dengan sekarang yang informasinya terlalu banyak. Tapi apakah kualitas informasi yang semakin banyak ini sama dengan kualitas zaman dahulu?. Jadi sebenarnya tantangannya sama, bedanya kalau zaman dahulu di kuantitas, zaman sekarang di kualitas.
Emang generasi mana yang paling mudah termakan hoax dan menyebarkannya lagi? orang-orang yang bilang “enak zaman sekarang” itu kan? Generasi mereka tidak dilengkapi dengan fitur memfilter informasi yang kredibel, ya karena susah dapet informasinya. Jadi ketika dapat menurut mereka pasti kredibel. Sedangkan sekarang, karena banyaknya informasi yang selalu datang, manusia-manusianya sudah dilengkapi dengan fitur menfilter informasi mana yang hoax, mana yang opini, mana yang berita, gimana ngeceknya dan lain-lain. Emang lebih enak mana? sama aja kan ada tantangannya masing-masing cuman beda bentukannya aja.
Nah, sama halnya dengan gaya mengasuh, banyak pola-pola asuh yang udah ga relevan dengan generasi sebelumnya ya bukan karena salah, karena berbeda aja kebutuhan dan tantangan zamannya. Beda cerita kalau anaknya dibesarkan sekarang terus disuruh hidup di zaman dulu, nah ini baru bener. tapi kan ga mungkin ya. Selain itu, perbedaan gaya atau pola asuh mana yang cocok juga dapat dipengaruhi banyak hal seperti kebutuhan anaknya, lingkungan sosial-budaya, dan lain-lain. Jadi sebenarnya tanggung jawab ini memang sebenuhnya dibebankan pada orang tua si anaknya bukan dari “parenting yang bener” karena benar dan salah sejatinya hanya milik tuhan, bukan generasi, bukan konsultant, apalagi orang luar yang bahkan ga kenal nama anak kita.
Jadi maksudnya jangan ragu dan takut salah yang mana yang benar. Selagi kita sudah mempelajarinya dan mengambil keputusan dengan pertimbangan yang pas. Orang lain tidak punya hak untuk mengomentarinya, apalagi menggugatnya.
Sudah dulu, ngantuk dan kepanjangan
Sepertinya cukup dulu untuk minggu ini. Memang sepertinya terlalu banyak hal-hal yang gua pikirkan dalam seminggu, sampai selalu ga muat untuk dijadikan blog yang ga kepanjangan dan membosankan. Ini sebenarnya masih ada bahasan tentang Baskara hindia ga sekosong itu, democratic parenting, mensupport kecerdasan emosional anak, Frank William Abagnale Jr., kenapa berkarya itu penting, dll.
Eh tambahan sedikit karena udah terlanjut nulis berkarya. Nah karena manusia meninggal meningkalkan karya, gua jadi kepikiran untuk buat minimal karya gua ga semalu-maluin itu ketika gua meninggal. Jadi gua restorasi sedikit buku gua yang dulu dibuat tahun 2020 walaupun isinya mungkin sekarang sudah agak aneh dan sedikit tidak relevan, tapi gua tetap bangga dengan karya sendiri. Berikut kalau mau coba liat2 yang sudah agak dimake-up sedikit dibandingkan sebelumnya:
Nah itu aja paling untuk minggu ini, maaf udah closingan eh malah masih ada yang kelupaan kan, jadi kureng.
Sudah dulu, ngantuk dan sudah kepanjangan.
Sampai jumpa di 3L Weekly Minggu Depan.
Cheers,
Leave a Reply