Halo halo, selamat datang di Long Live Learning Weekly Blog edisi ketiga, Kontradiksi | #3. Minggu ini kayaknya lebih cocok disebut minggu kemunduran, banyak aktivitas yang kurang produktif, mungkin karena suasana hati yang lagi buruk atau emang lagi pemalesan aja. Padahal di minggu sebelumnya streak TickTick sudah sampai 14 hari berturut-turut, malah streak-nya berakhir di hari ke 18 atau 19 gitu, sayang banget. Oke cukup, kita langsung saja. Let’s gow!
Polisi buat campaign video pakai AI, gada footage real gitu?
Minggu kemunduran ini diawali dengan gua terpapar video campaign dari Divisi Humas Polri yang bertema “Pahlawan Masa Kini”. Anjay.
Dari segi copywriting sih judulnya keren, walaupun menurut gua harusnya lebih cocok judulnya “Pahlawan Masa Gitu?”. Kayak yang menggambarkan citra institusi ini banget loh, apalagi di masa sekarang. Selain itu, konsep dan tema yang diusung itu sangat kekinian banget, dari penggunaan teknologi terkini sampai eksekusi storyline yang ciamik. Untuk masalah produksi sih ga jelek ini, serius. Harus diapresiasi. Tapi, ga lengkap kalau cuman bisa komen doang, soalnya di akhir zaman seperti saat ini komentator juga dituntut kasih solusi, bukan cuma bisa komentar doang katanya.
Jadi, menurut gua kekurangan video ini bukan dari segi produksi tapi ke brainstorming ide dan timing. Siapa sih yang kasih ide untuk penggunaan AI di campaign ini?, tidak salah, cuman kurang tepat aja menurut gua. Bukan masalah kurang update dengan teknologi sekarang, apalagi saat wapres kebanggaan kita sangat mendukung penuh penggunaan AI-AI ini. Cuman, kita harus lihat juga kondisi dan citra yang terbangun saat ini di masyarakat dan khalayak ramai. Kayak kurang cocok aja gitu ketika campaign-nya menggunakan AI yang menggambarkan sebuah “rekayasa” padahal orang sudah muak dengan “rekayasa-rekayasa” yang banyak dan masif dilakukan oleh institusi ini.
Kembali lagi bukan timing AI yang kurang pas, karena sekarang emang lagi trend dan banyak dipakai oleh siapapun. Kurang tepatnya bukan di timing AI-nya, tapi di timing citranya yang menurut gua merupakan sebuah kontradiksi dengan apa yang terlihat dan terjadi di lapangan. Kenapa ga penggunaan AI-nya dibuat untuk campaign receh aja atau konten yang mudah dikunyah, bukan seberat campaign “Pahlawan Masa Kini”. Kayak semakin membenarkan stigma masyarakat kalau institusi ini gapunya footage yang real terkait tema “Pahlawan Masa Kini” ini. Lah apa memang ga ada rekaman kebaikan yang asli pak? Ga deng pak, bercanda. Ampun.
Merdeka itu Bertanggung Jawab (Sebuah Kontradiksi)

Selanjutnya, minggu ini diisi dengan kembali belajar sustainability yang gua rasa semakin kesini semakin jauh dari nilai yang gua pegang. Perkembangan zaman dan teknologi yang sangat pesat ini membuat gua semakin merasa jauh dari alam dan semesta yang seharusnya dekat dari kita. Apalagi sekarang dengan kondisi climate chaos dan perubahan iklim yang berdampak langsung ke gua, membuat niat untuk kembali belajar dan mengerti alam semakin mendesak.
Sesuatu yang gua dapet dari Tantra Waworuntu dari Bumi Langit yang dari beberapa wawancara online-nya yang selalu membuat kepikiran adalah kalimatnya tentang “Merdeka itu harus bertanggung jawab”. Disamping pembelajaran tentang permakultur dan keseimbangan manusia dan alam lainnya, menurut gua kalimat ini sangat dalam walaupun sederhana. Tersusun dari dua istilah yang kontradiktif tapi sebenarnya dapat disatukan dalam satu kalimat, merdeka dan tanggung jawab.
Selama ini kita, khususnya gua masih selalu terkotakkan dengan kata merdeka yang punya arti kebebasan yang tanpa batas. Ketika kita merdeka, semua dapat kita lakukan dengan bebas, tanpa batas, tanpa harus dikekang oleh sistem, struktur, maupun kekuasan. Namun, setelah berkenalan dengan kalimat ini, gua sadar ternyata merdeka pun harusnya ada batasannya, bukan berarti tidak merdeka sepenuhnya tapi lebih ke merdeka yang bertanggung jawab.
Batas-batas kebebasan itu tidak dikekang dengan sistem atau struktur, tapi justru ke kesadaran diri untuk tetap berpegang teguh dengan nilai serta keyakinan. Bukan berarti ketika merdeka kita bebas melakukan segalanya tanpa batasan sama sekali, tapi dengan lebih membatasi diri dengan tanggung jawab juga atas pilihan-pilihan dari kemerdekaan itu sendiri. Kalimat ini juga menurut gua dapat menjelaskan fenomena masyarakat yang lebih memilih dijajah Belanda daripada dijajah oleh pemerintah negara sendiri seperti saat ini. Mungkin pemerintah kita masih mengartikan kata “merdeka” dengan kebebasan sepenuhnya, tanpa lupa berkenalan dengan sebuah batas yang bernama “tanggung jawab” yang harusnya tetap melekat dan menjadi satu kesatuan. Makanya suka seenaknya kan.
Keseimbangan
Nah, dari pembelajaran-pembelajaran sebelumnya tersebut gua jadi menyadari bahwa semua yang diciptakan tuhan di dunia ini memang dalam satu kesatuan. Plus dan minus, baik dan buruk, gelap dan terang, siang dan malam. Hampir semua bentuk kontradiksi itu bukan hanya diciptakan untuk berlawanan saja, tapi harusnya saling melengkapi juga.
Keseimbangan itu penting. Oleh karena itu juga sepertinya kenapa tuhan tidak suka kalau kita hanya mengejar dunia saja, pun dengan mengejar akhiratnya saja.
Makanya di beberapa faham kiri percaya bahwa membuat masyarakat terjatuh jauh ke dalam agamanya tanpa akalnya dapat membuka jalan oligarki menjadi lebih mulus dan indah. Karena ketika mereka dilanda kemiskinan, mereka hanya akan pasrah karena itu sudah takdir dari tuhan, bukan menyalahkan pemegang kekuasaan yang harusnya membuat aturan yang lebih adil dan mensejahterakan. Mungkin sekarang itu yang banyak terjadi, apalagi di masyarakat-masyarakat daerah. Padahal tuhan suka keseimbangan, bukan hanya akhirat saja, pun sebaliknya.
Bahkan dari perbincangan gua dengan tetangga di minggu ini, beliau percaya bahwa orang beragama itu tidak harus mementingkan kekayaan di dunia, mending kaya raya di akhirat saja, kan tolol. Padahal nabi tidak pernah mengajarkan untuk hidup miskin, tapi mengajarkan hidup dengan sederhana. Hidup sederhana itu bukan berarti miskin, dari diksi dan kata saja sudah berbeda. Mungkin memang masyarakat Indonesia apalagi yang di daerah-daerah, minim terpapar wawasan, atau aksesnya yang susah, dan sepertinya juga karena tingkat literasi yang kurang. Makanya jangan males baca yah masyarakat yang budiman sekalian. Apalagi baca 3L Weekly Blog. Haha.
Sudah dulu, ngantuk dan kepanjangan
Sepertinya harus kita akhiri dulu 3L Weekly Blog Edisi Ketiga minggu ini, lagian gua sudah banyak menyenggol instansi maupun basis penggemar yang militan semua. Dari Polri, manusia golden ticket surga, pemerintah dengan buzzer-buzzernya dan lain-lain. Jadi sebelum penyerangan-penyerangan itu terjadi, gua sudah mempersiapkan diri dengan istirahat yang cukup dan pikiran yang tenang.
Sudah dulu, ngantuk dan sudah kepanjangan.
Sampai jumpa di 3L Weekly Minggu Depan.
Cheers,
Leave a Reply